Tradisi unik dalam menyambut bulan Ramadan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, memberikan gambaran yang memikat tentang kekayaan budaya dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang menonjol adalah Marpangir, sebuah ritual mandi dengan rempah-rempah yang dilakukan menjelang bulan Ramadan. Marpangir bukan hanya sekadar ritual membersihkan tubuh, tetapi juga sebuah perwujudan dari kesucian lahir dan batin dalam menyambut bulan suci bagi masyarakat Mandailing.
Marpangir adalah warisan budaya leluhur yang masih dijaga dengan penuh kebanggaan dan kehormatan oleh masyarakat Mandailing. Dalam artikel yang ditulis oleh Muhammad Andre Syahbana Siregar, tradisi ini digambarkan sebagai proses pencarian bahan-bahan seperti daun sereh wangi, daun jeruk purut, daun pandan, dan berbagai rempah-rempah lainnya yang digunakan untuk meramu ramuan mandi. Proses pencarian bahan-bahan ini bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga sebuah kesempatan bagi keluarga untuk berkumpul dan saling membantu, memperkuat ikatan kekeluargaan yang sudah terjalin sejak zaman nenek moyang.
Ritual Marpangir menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh masyarakat Mandailing karena selain sebagai sarana untuk membersihkan diri secara fisik, ritual ini juga menjadi ajang untuk merawat dan menjaga kebersihan spiritual. Dengan memadukan rempah-rempah alami, proses mandi Marpangir diharapkan dapat membersihkan aura negatif dan mempersiapkan diri secara mental dan spiritual untuk menyambut bulan Ramadan dengan penuh kesadaran dan kesucian.
Namun, Marpangir bukanlah satu-satunya tradisi unik yang menghiasi menyambut bulan Ramadan di Mandailing Natal. Di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, masyarakat memiliki tradisi unik untuk memeriahkan malam ke-27 Ramadan dengan membakar tempurung. Sejak jauh-jauh hari, warga sudah mempersiapkan tempurung yang akan digunakan untuk tradisi ini dengan menjemurnya agar mudah terbakar. Kemudian, pada sore hari puasa ke-26, warga mulai menyusun tempurung tersebut setinggi satu meter, siap untuk dibakar pada malam harinya.
Tradisi membakar tempurung ini menjadi simbol kebersamaan dan persatuan masyarakat Mandailing Natal dalam menyambut bulan Ramadan. Aktivitas ini tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga sebuah upaya untuk memupuk rasa solidaritas dan kebersamaan di antara warga, serta untuk menghormati dan merayakan kedatangan bulan suci dengan penuh semangat dan kegembiraan.
Selain Marpangir dan tradisi membakar tempurung, terdapat juga tradisi makan bersama menggunakan daun pisang yang dilakukan oleh ribuan warga di Desa Gunung Barani, Kabupaten Mandailing Natal. Tradisi ini dilakukan sebagai tanda dimulainya bulan Ramadan, di mana masyarakat berkumpul untuk berbagi hidangan dan menikmati pertunjukan alat musik tradisional gordang sambilan. Makan bersama di atas daun pisang bukan hanya sekadar aktivitas mengisi perut, tetapi juga sebuah simbol kebersamaan, persaudaraan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai keagamaan dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Mandailing Natal.
Dalam tradisi makan bersama ini, hidangan gulai daging menjadi hidangan utama yang disajikan, menunjukkan keragaman kuliner dan kekayaan masakan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing Natal. Hidangan tersebut disajikan dengan penuh kehangatan dan keramahan, mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Mandailing Natal dalam menyambut bulan Ramadan.
Secara keseluruhan, potret tradisi unik dalam menyambut bulan Ramadan di Mandailing Natal memberikan gambaran yang memikat tentang kekayaan budaya dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Dari ritual Marpangir yang mengharukan hingga tradisi membakar tempurung dan makan bersama di atas daun pisang yang penuh semangat, setiap tradisi tersebut menggambarkan semangat gotong royong, kebersamaan, dan keagamaan yang menjadi landasan kuat bagi masyarakat Mandailing Natal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebagai warisan budaya yang masih dilestarikan hingga saat ini, tradisi-tradisi tersebut tidak hanya sekadar menyambut bulan Ramadan, tetapi juga menjadi simbol kekuatan dan keindahan dari keberagaman budaya Indonesia.