“Street Photography“: Era Modern, Era Postmodern, dan Era Medsos (Bagian Pertama)

Sejarah fotografi sangat lekat dengan perkembangan teknologi peralatan fotografi (baca: kamera) dan perkembangan budaya manusia. Ketika masa awal ditemukannya kamera, fotografi digunakan sebagai cara baru untuk menggambar dan mencetak dokumentasi manusia, keluarga, dan entitas. Pada awalnya hanya kalangan bangsawan yang mempunyai dokumentasi foto karena teknologi fotografi masih mahal dan ekslusif. Pada perkembangannya, hingga foto dokumentasi bisa diakses oleh kelas menengah dan kemudian semua kalangan ketika kamera sudah dapat dimiliki oleh semua orang.

Fotografi pada era tersebut sempat dianggap sebagai ancaman terhadap lukisan. Foto menjadi substitusi dari lukisan yang pada masa tersebut dipakai sebagai cara terbaik untuk membuat dokumentasi orang. Bisa dikatakan foto mengekor dunia seni lukis dari penggunaannya dan juga dari cara memvisualisasikan. Foto-foto dibuat dengan visualisasi seperti lukisan, dari foto-foto portrait hingga foto pemandangan.

Foto harus dibuat indah dengan standar seni lukisan. Merayakan fotografi sebagai karya seni dimanifestasikan dengan cara tersebut. Bahkan, hingga saat ini cara berfotografi dan menikmati foto ala lukisan ini masih dipertahankan bagi sebagian fotografer dan sebagian besar penikmat foto.

Era fotografi modern

Ketika teknologi fotografi berkembang dan kamera semakin mudah diakses, tuntutan terhadap fotografi juga ikut berkembang. Alasan orang keluar rumah dengan menenteng kamera pun juga berkembang. Fotografi memulai era untuk mencari jalannya sendiri dan keluar dari bayang-bayang seni lukis. Para fotografer mulai mencari alasan yang lebih merdeka mendekonstruksi fotografi, bagaimana menggunakan fotografi bukan hanya sekadar untuk membuat dokumentasi keluarga atau membuat “lukisan yang indah”. Era fotografi modern pun dimulai.

Meskipun cara modern berfotografi sudah dimulai sejak awal abad ke-20, kemeriahan era ini memang sangat ingar bingar pasca-Perang Dunia II. Ketika dunia berubah, negara-negara baru memerdekakan diri, masyarakat dunia merayakan kemerdekaan dan demikian pula cara mengekspresikan diri dalam menggunakan fotografi. Henri Cartier-Bresson, pioner fotografi era modern, mengenalkan cara menangkap momen yang menentukan atau lebih dikenal dengan decisive moment, Robert Frank mendokumentasikan Amerika dengan cara personalnya sendiri, sementara William Eglesstone merayakan ditemukan film berwarna dengan mendatangkan ”warna” dalam foto-fotonya.

Dalam merayakan “warna” ini, cara Eglestone ini juga kemudian dilakukan Fred Herzog. Fotografer dari Kanada ini merekam kehangatan film Kodakchrome dalam proyeknya ”Modern Color”. Para fotografer yang disebut itu berupaya menggunakan fotografi untuk tujuan tertentu, sebuah upaya dekonstruksi tentang penggunaan foto, sebuah upaya eksperimen personal yang “modern”.

Contoh lain fotografer yang bisa dikatakan terkenal dalam seni fotografi modern adalah Jo Spence. Kala itu, saat Spence divonis menderita kanker payudara, dia menggunakan fotografi sebagai alat terapi untuk penyakitnya. Dia mendokumentasikan perjuangannya melawan kanker payudara dengan cara yang dia sebut “photo-theraphy”. Spence membuka tubuhnya dan membagikan rasa sakitnya kepada dunia luas dan memperlihatkan bagaimana caranya mengatasi penderitaannya. Apa yang dilakukan Spence adalah sebuah cara menggunakan fotografi yang berbeda dengan fotografi tradisional yang lekat dengan pengekoran terhadap seni lukis.

Era postmodern

Para seniman foto kemudian merasa tidak cukup untuk mencari cara baru menggunakan fotografi. Identitas personal satu hal yang dirasakan perlu disertakan dalam fotografi modern. Ketika kamera kemudian dipakai setiap orang, fotografer profesional semakin banyak, duplikasi dan plagiarisme berfotografi menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Faktanya kemudian muncul fotografer ”fotocopy” dari fotografer era modern sebelumnya yang sudah ada. Pencarian identitas unik di masyarakat fotografi modern menjadi pekerjaan rumah berikutnya.

Pencarian karya fotografi yang baru dan personal ini bergerak. Perlu upaya dekonstruksi ulang pada gerakan seni fotografi. Selain itu, perlu juga upaya penyederhanaan dari cara berfotografi era modern. Pameran “The New Golden Age” tahun 1967 mungkin menjadi pijakan bagi cara berfotografi pasca-fotografi modern, dan kemudian banyak yang menyebutnya sebagai “post-modern photography”.

”The New Golden Age” memamerkan karya Lee Friedlander, Garry Winogrand, dan Diane Arbus. Kurator pameran tersebut adalah John Szarkowski. Pameran ini menawarkan pendekatan baru terhadap street photography. Ketiga peserta pameran mewakili pergeseran cara pandang fotografer yang berbeda terutama tentang bagaimana menambah makna foto. Arbus mengangkat sesuatu yang seharusnya diidentifikasi dan diangkat ke khalayak, yaitu dengan mendekati dan merekam kehidupan sehari-hari masyarakat kelas bawah di New York dan sekitarnya. Satu hal yang pada saat itu masih dihindari untuk dipotret atau tidak layak untuk dipotret dan direkam kehidupannya. Arbus masuk ke masyarakat tersebut, ikut merasakan kehidupan “orang-orang asing” tersebut, dan kemudian merekamnya dari jarak yang sangat dekat.

Winogrand sebagai fotografer dikenal sebagai aggressive intruder. Ia secara aktif mendekat ke subyek untuk memperoleh respons dari orang-orang di ruang publik yang ingin dia rekam dengan kameranya. Friedlander masih mempertahankan “keartistikan subyek”, di mana dia sangat terlihat merekam refleksi pada kaca dan juga bayangan. Sering kali ia merekam dirinya sendiri dalam frame refleksi kaca yang ada di depannya.

Winogrand juga sangat tertarik memotret banyak signs, rambu lalu lintas, papan reklame sebagai sebuah rekaman sekaligus cara pandang kreatif (sekaligus kritik visualnya). Sepertinya ini adalah pembacaan kritisnya yang diwakili dalam jepretannya terhadap banyak signs, sebuah pandangan hiperealis bahwa realitas Amerika ditutupi oleh banyak signs. Pendekatan ini sangat post-modernis.

Fotografi di era media sosial

Memasuki era tahun 70-an, street photography tidak lagi menarik perhatian media massa layaknya dekade sebelumnya. Foto-foto street tidak lagi menghiasi galeri-galeri ternama di Amerika dan Eropa. Uniknya, fotografer street justru berkembang dan street photography sendiri semakin popular. Dari era 70-80-an, kita bisa menyebut fotografer seperti Martin Parr, Tom Wood, Alex Webb, dan Boris Savelev. Mereka muncul dengan gaya baru memotret jalanan yang stylish dan personal. Di luar para fotografer tersebut, terdapat ribuan fotografer jalanan lainnya, tetapi mereka mengalami kesulitan untuk dapat dikenal luas dan mendapatkan eksposur seperti nama-nama tersebut. Hingga akhir tahun 90-an, tidak nama baru di dunia street photography.

Pergantian abad tampaknya menjadi milestone berikutnya. Perkembangan teknologi kamera digital baru (dan lebih luas lagi fotografi digital) serta munculnya platform media sosial ternyata dapat memunculkan nama-nama baru pada street photography. Mereka muncul dengan cara dan jalannya sendiri, mereka tidak perlu lagi memakai jalur konvensional menembus galeri dan media massa mainstream, tetapi mereka memunculkan dirinya sendiri pada media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Flicker.

Fotografer jalanan masa kini, seperti Paul Graham, Laurisa Galvan, Carolyn Drake, Mark Alor Powell, dan Matt Stuart, pada akhirnya muncul di era media sosial ini. Dari Asia muncul nama, seperti Tavepong Pratoomwong dan Tatsuo Suzuki. Platform seperti Instagram dan Flickr, serta situs web foto street seperti In-Public telah memungkinkan street photographer membuat karya kolektif daring dan memamerkan karya mereka melintasi batas waktu dan wilayah.

Foto-foto street masa kini tidak lepas dari kritik. Pengamat fotografi Michael Ernest Sweet, yang juga fotografer dari Kanada, mengkritik bahwa foto jalanan kontemporer saat ini kurang valid jika dimasukkan ke dalam seni kontemporer. Eksklusivitas karya semakin minim dan juga cara mengambil gambar yang semakin mudah dan cepat.Sangat jamak fotografer jalanan saat ini memotret dengan mode burst dan auto-focus tracking yang mampu mengunci subyek serta menjepretnya dengan cepat.Pendekatan dan cara memotret seperti ini, dalam pandangan Sweet, tidak dapat dibandingkan dengan karya-karya seperti Cartier-Bresson, Evans, Frank, Meyerowitz, atau Arbus.

Namun, ada kritik ataupun tidak, fotografi jalanan sekarang mencari jalannya sendiri dan menyesuaikan dengan jaman kekinian.Tantangan untuk membuat kebaruan dan membuat kebaruan pada street photography tidak lagi semudah pada zaman sebelumnya.Hal yang lebih diperlukan adalah bagaimana membuat para penggiat fotografi jalanan yang saat ini jumlahnya jutaan di seluruh dunia menjadi sadar akan tentangan untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda.

Setiap zaman punya gaya, setiap zaman punya pendekatan yang berbeda. (Bersambung)

Oleh: Gathot Subrotopengajar fotografi

Sumber: https://www.kompas.id/baca/foto/2024/03/14/street-photography-era-modern-era-postmodern-dan-era-medsos-bagian-pertama

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top